Apa sih sabun itu?

Menurut Word Book Encyclopedia (1998), sabun utamanya dibuat dari lemak (minyak) dan alkali. Lemak yang digunakan dapat berupa lemak hewani, atau minyak nabati seperti minyak kelapa atau minyak zaitun. Sedangkan alkali yang digunakan adalah soda kaustik (NaOH).



Bahan lain yang digunakan adalah parfum dan zat pewarna. Untuk sabun mandi bisa terdiri dari sabun saja atau campuran sabun dan surfaktan sintetik. Disamping mengandung parfum juga dapat mengandung germisida (antimikroba).

Walhasil, sabun cukup rawan karena dapat mengandung bahan-bahan yang berasal dari hewani. Karena sabun tidak dimakan, maka syarat kehalalannya tidak boleh mengandung bahan najis. Jika mengandung bahan-bahan yang berasal dari hewan (babi) atau hewan lain yang tidak disembelih secara Islami, bahan tersebut najis dan tidak boleh dipakai.

Jika Anda berendam di bath tub di hotel, hati-hatilah dengan bath foam. Sebab, di dalam sabun berbentuk gel ini bisa jadi terdapat kandungan gelatin. Nah, sumber gelatin itulah yang menjadi pertanyaan, apakah dari tulang babi atau tulang hewan lainnya.

Ditinjau dari bahan pembuatnya, bath gel memiliki kemiripan dengan sabun mandi. Perbedaannya pada jenis lemak dan penggunaan bahan pembentuk gel. Untuk menghasilkan tekstur yang baik, yaitu yang berbentuk gel, biasanya ditambahkan gelatin sebagai salah satu penyusunnya. Dengan demikian ketika dituang, bath foam tidak langsung mengalir seperti halnya shampo atau sabun cair, namun agak susah mengucur.

Karena bersentuhan langsung dengan kulit, jika berasal dari babi atau turunan babi, maka bath gel menjadi najis. Jika sudah demikian, alih-alih bisa membersihkan badan, malah justru membuat tubuh terkena najis.

Sayangnya, gelatin bisa berasal dari tulang sapi atau tulang babi. Di dunia, prosentasenya fifty-fifty. Meskipun gelatin yang banyak beredar di Indonesia kebanyakan berasal dari sapi, tetapi tidak ada jaminan bahwa semua gelatin yang masuk ke Indonesia tidak ada yang dari babi. Selain itu bath foam juga banyak yang diproduksi di luar negeri, yang tidak jelas status gelatinnya.
Retno Iswari Treggono, seorang inspirator kosmetik Indonesia. Ketua Himpunan Ilmuwan Kosmetika Indonesia dan Presiden Direktur PT Ristra Indolab, ini membuka usaha bidang kosmetika dengan berbasis ilmu medis. Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UI, ini membagikan ilmu dan pengalaman dalam buku otobiografinya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, Inspirator Kosmetik Indonesia, yang diluncurkan Senin 3/9/07.

Pendiri/Perintis Bagian Bedah Kulit dan Kosmetologi FK UI/RSCM (1970 ini mengaku heran, bila di zaman seperti sekarang ini masih ditemukannya kandungan berbahaya (formalin) dalam suatu produk kecantikan. Terkait dengan persoalan ini, Retno, Dosen Luar Biasa FMIPA Universitas Indonesia (UI) ini pun tampak sibuk mencari-cari referensi koleksi bukunya, dia berharap bisa memberi masukan pada Balai Pengawasan Obat-Obatan dan Produk Makanan (BPOM).

BPOM merupakan lembaga milik Negara yang memiliki otoritas pemberi labelisasi dan juga bertanggung jawab terhadap berbagai produk makanan, obat-obatan termasuk didalamnya kosmetik yang aman dikonsumsi masyarakat.

Wanita yang masih tampak cantik dan sehat pada usia 68 ini pun bercerita bahwa kejadian seperti itu, (maraknya zat berbahaya yang beredar di masyarakat) sering dia alami dan sudah terjadi sejak awal dirinya berpraktik sebagai dokter kulit sekitar tahun 60-an.

Retno pun menuturkan bahwa sekitar tahun 1970-an berbagai produk kosmetik asal Thailand, Taiwan dan China pernah membanjiri Indonesia. Selaku dokter ahli kulit ia melihat bahwa produk-produk tersebut tidak semuanya aman dikonsumsi masyarakat. Bahkan sebaliknya bisa menjadi racun.

Pada tahun yang sama juga Retno mengkritisi soal banyaknya kosmetika yang tidak mencantumkan komposisi produk dalam kemasannya, lalu Retno melapor pada Departemen Kesehatan. Setahun kemudian dugaan Retno terbukti, produk-produk itu ternyata mengandung merkuri, sebuah zat yang berbahaya bagi organ tubuh manusia seperti otak, lever dan ginjal.

Peraih gelar Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran UI tahun 1968 ini juga menjelaskan panjang lebar mengenai kesalahpengertian konsumen soal berbagai produk dan perawatan kecantikan yang ditawarkan dengan berbasis teknologi modern, yang sebenarnya belum tentu cocok untuk digunakan di Indonesia. Retno mencontohkan soal chemical peeling (CP). CP merupakan proses pengelupasan kulit yang membuat lapisan dalam kulit menipis. CP ini sebenarnya hanya cocok diterapkan di negara-negara beriklim subtropik, seperti Eropa dan Amerika. Dan tidak cocok bila diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis.

Pendiri dan pengajar Ristra Institute of Skin Health and Beauty Science ini memberi alasan dan menjelaskan secara rinci mengenai CP ini, pertama, perbedaan intensitas cahaya matahari antara iklim tropis dan iklim subtropis. Kedua, soal pigmen melanin kulit, orang Indonesia memiliki pigmen kulit melanin lebih besar dan banyak dibanding dengan kulit orang bule, hal ini membuat penyerapan sinar matahari kulit orang Indonesia lebih banyak dan akibatnya kulit akan bertambah hitam, atau bisa juga kulit akan menjadi merah seperti udang rebus akibat pengaruh dan masalah dengan pembuluh darah.

2 comments: