Cerpen Ku

Teman Kecilku…Cinta Pertamaku

Namaku Nia Pusparini, usiaku 21 Tahun aku kuliah semester VII di salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Banyak teman-teman yang bilang aku anak yang menyenangkan,



tetapi aku tidak pernah merasakan yang namanya pacaran. Hmmm aneh ya…tapi tidak apa-apa, mungkin itu adalah salah satu kelebihanku…Ups..salah itu kekuranganku he..he..he eh… bukan karena aku tidak ada yang suka loh….

“Hmmm…hari libur, males mau ngapa-ngapain deh! BT…..”

Aku duduk dimeja belajar yang selalu setia menemaniku, setia dalam lamunanku, dan setia dalam kenangan masa kecil, pikiranku melayang jauh, aku teringat dengan Rizal teman kecilku, ya…. mungkin cinta pertamaku.
Sudah lama aku tidak melihat sosok Rizal. Aku ingin bertemu dan menghabiskan waktu dengannya sekedar bermain-main saja seperti masa kecil dulu. Yang begitu luguh dan polos, hmmm….kenangan.
Aku ingat waktu itu usiaku masih delapan tahun, ya tepatnya masih sekolah kelas tiga SD, biasanya sepulang sekolah kita selalu bermain bersama-sama, karena memang rumahku tidak begitu jauh dengan rumah Rizal.
Oya…aku ingat, dulu aku pernah bermain bersama teman-teman di lapangan tenis komplek rumahku, saat itu kami bermain pengantin-pengantinan, dan yang jadi pengantinya aku dan Rizal.hmmm….lucu deh masa kecilku.
Tetapi setelah ujian sekolah usai aku naik kelas empat, ayahku dipindah tugaskan ke Jakarta. Ya…mau tidak mau aku harus ikut pindah. Saat itu aku sedih sekali, karena aku akan berpisah dengan teman-teman, terlebih lagi aku harus berpisah dengan Rizal sahabatku.
Mendengar kabar itu, aku langsung beranjak pergi ke rumah Rizal. Aku duduk di halaman rumah Rizal, tidak terasa air mataku mengalir dari bola mataku yang sudah tidak tertahan lagi, suasana seakan membisu di kesunyian malam. Keluarlah Rizal dari pintu yang ku ketok itu, menyapaku dalam kelamnya malam.
“Nia, kenapa kamu nangis,, ada apa?” Rizal bertanya heran karena melihat Nia menangis.
“Zal, besok aku pindah rumah”. Dengan suara terbata-bata karena menahan tangis aku kuatkan diri untuk berpamitan dengan Rizal.
“Pindah,,,kemana?” Rizal kaget mendengar berita kepindahanku.
“Ke Jakarta”
Rizal terdiam, ia seakan memikirkan sesuatu yang tidak dapat di ungkapkan oleh bibirnya yang gemetar. Saat itu aku tidak ingin berpisah dengan Rizal, aku takut kehilangan sahabatku.
Angin malam tidak menghalangi suara Rizal yang terdengar begitu halus, memanggil namaku.
“Nia…nanti kita tidak bisa main sama-sama lagi dong, kenapa kamu harus pindah rumah? Kamu harus tahu Nia, bahwa aku suka sama kamu, aku tidak mau kehilangan kamu”.
“Apa!” aku kaget dan bingung, karena aku tidak mengerti apa arti suka saat itu sedangkan aku sendiri tidak ingin kehilangan Rizal. Aku hanya menjawab bahwa, “kitakan masih kecil”.
“iya aku tahu, maka dari itu nanti kalau kita sudah dewasa nanti kamu jadi pacarku…..maukan?” ucap Rizal dengan merayu Nia.
“he..he..he..aku mau jadi pacar kamu, tapi aku tidak tinggal disini lagi bahkan aku tidak tahu kita akan bertemu lagi atau tidak”.
“Aku yakin suatu hari nanti kita akan bertemu lagi…percaya deh!” jawab Rizal yang ingin meyakinkan kepada Nia bahwa suatu saat mereka akan bertemu lagi.
Itulah kenangan yang aku ingat tentang Rizal teman kecilku. “Oh..kenangan, oh..masa kecilku, ya ampun hampir 12 tahun aku tidak bertemu dengan Rizal, ya Allah pertemukanlah aku dengan teman kecilku itu”.


Tak sadar aku goreskan tinta ini diatas kertas putih, yang bertuliskan:
Sendiri tanpa jiwa aku termenung dalam buaian asmara
Sendiri tanpa kata-kata bagaikan terbisu dalam buaian cinta.

Lamunanku terhenti ketika aku mendengar telepon ku berdering, semua kenangan tentang Rizal hilang dalam sekejap mata.

“Kring…..”
“Assalamualaikum….”
“Walaikumsalam…ada apa jeng?” ternyata yang telepon itu adalah Fitri sahabatku.
“Ni,kita OL yu…dirumah elo bisakan?”
“Bisa…, hayo mau ngapain lo?”
“Enggak..gua mau nyari tugas aja, soalnya komputer dirumah gue ngadat lagi”.
“Ya udah elo kesini aja fit”.
“Ya,,, gue kerumah elo ya”.
“Oke”.

Uhf…sebentar lagi nona Fitri bawel datang nih.

****

Tidak lebih dari lima menit, akhirnya nona bawel sobatku yang bernama Fitri itu datang. Ya, memang rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku. Dia dapat merubah suasana yang sunyi menjadi ramai karena ke bawelannya itu, aku seneng berteman dengannya, karena dia teman yang supel dan apa adanya. Hal itulah yang membuat aku nyaman berteman dengannya. Bahkan sering sekali aku curhat dengannya, walaupun memang sering dia selalu memberikan ide-ide yang sedikit konyol dan tidak masuk akal.

“Assalamualikum…” suara Fitri terdengar mengucapkan salam dari depan pintu rumahku.
“Walikumsalam….” Jawab mamahku sambil membukkan pintu.
“Eh. Tante , Nia nya ada?”
“Ada, tuh ada dikamar dari tadi gak keluar-keluar, ayo masuk.”
“Tante lagi apa? Wow…kayaknya enak nih, cicip ya tante”. Fitri mengambil kue yang dibuat oleh mamahnya Nia.
“Ya sudah ambil aja kali Fit…Sebentar ya tante panggil Nia dulu”.
“mmm…tante baik benget deh, makasih tante”.

“Nia” mamah memanggil, sambil mengetuk-ketuk pintu kamar.
“Ya,mah” jawab Nia dari dalam kamar yang belum juga terbuka, padahal hari sudah siang.
“Ada Fitri tuh di depan”
“Oh..” Nia sambil membuka pintu kamarnya.

Keluar dari kamar, aku melihat Fitri sedang asyik makan kue buatan mamah, memang mamah memiliki hobi membuat kue, terutama kue coklat. Yang paling aku suka kue buatan mamah yaitu kue coklat pasta, hmm…pokoknya rasanya tidak ada tandingannya.
“Woy…enak bener ini bocah….langsung kekamar gua aja yu”
“Hmmm…iya cuy, kuenya enak nih. Tante nanti ajarin aku bikin kue kayak begini ya”.
“Iya elu mah bukannya belajar bikin kue, tapi belajar ngacak-ngacak doang, benerkan mah?” celetukkku pada Fitri.
Mamah hanya tersenyum, melihat Aku dan Fitri saling mengejek. Hal ini sudah sering terjadi, sehingga aku tidak merasa tersinggung begitupun Fitri, dia sudah memahami akan sikapku ini.

“Ah..elo tau aja..kelebihan gue he..he..he..” jawab Fitri sambil tertawa mendengar celetukkanku itu.

****

“Woy…gile kamar lo berantakan amat! Dasar males he..he..he” Fitri aneh, dengan melihat suasana kamar yang berantakan, semua boneka koleksiku tersebar di sekeliling tempat tidur. Dan selimut yang masih belum juga dibenahi dengan rapih.
“Iya neh gue lagi tidak emut mau ngapa-ngapain”. Jawabku atas pertanyaan Fitri sambil menutup pintu kamar.
Fitri melihat-lihat kondisi kamarku yang berantakan, Fitri melihat dan membaca tulisanku, yang terletak di meja belajar.
“Wew…apa nih? Sendiri tanpa jiwa..”
Kurebut kertas itu dari tangan Fitri. Dan kuselipkan kertas itu di dalam limpitan buku pelajaranku.
“Ih….apaan sih lo” dengan perasaan kesal dan malu karena Fitri telah membaca puisi yang kubuat saat aku merindukan Rizal.
“Jeng emang lo kenapa?mau baca dong kelanjutannya” Fitri merayu Nia agar tidak marah lagi, karena Fitri sudah lancang membaca tulisan itu.
“Ah…enggak ah…” jawabku dan langsung memberikan leptop ke tangan Fitri.
“Nih leptopnya….Emang elo nyari tugas apa?” tanyaku pada Fitri
“Ini..tentang perbank kan gto”.
“Oh..” Aku langsung merebahkan kembali tubuhku diatas kasur dan perasaanku tidak karuan.
“Ni..lo kenapa sih..kayaknya BT banget ada apa?” Fitri heran melihat Nia murung tidak seperti biasanya.
“Enggak ko…gue lagi?” jawabku mengelak, seakan-akan tidak ada apa-apa.
“Lagi apa? Hayo” Fitri makin penasaran dengan jawaban Nia yang masih meragukan.
“Hmmm….lagi inget masa kecil gue dulu. gue lagi kangen nih.”
“Kangen sama siapa? Sama Andi ya….ngaku?” Fitri meledek Nia agar Nia tidak murung lagi.
“Enak aja,kan elu tahu, Andi itu hanya gue anggap sebagai temen saja tidak lebih”. Nia menyangkal semua yang dikatakan Fitri dengan tegas.
“Ah..lebih juga enggak apa-apa lagi, terus siap dong…Oh…gua inget, dulu elo pernah cerita tentang teman kecil elo yang namanya Rizal ya?”
Jawabku hanya menganggukan kepala saja, seakan-akan aku menahan rasa rindu yang begitu besar pada Rizal. Bernapas pun sulit ketika aku sedang merindunkannya. Oh..cinta kau dapat membuatku berhenti bernapas dan melupakan sejenak tentang kehidupan.
“Udahlah Ni…mending kita Facebook kan aja….eh..nama cowo temen kecil elo itu sapa? Kita cari di facebook aja”. Ajak Fitri agar Nia tidak memikirkan Rizal lagi.
“Iya…ya kenapa enggak kepikiran sama gua ya”. Nia langsung bangun dari tidurnya, karena ia penasaran tentang apa yang di usulkan oleh Fitri.

“Yawis…cepet siapa namanya?”
“Du…siapa ya gue lupa nama panjangnya nih”.
“Coba cari Rizal Gunawan”.
“Rizal Gunawan?”
“Iya…Gunawan itu nama bokapnya, siapa tau aja, soalnya gue lupa cuy”.
“Oh…ya udah kita cari…Yang ini…Ni fotonya?” Fitri menujukkan foto di laptopnya.
“Ah..bukan ini, dia mah orangnya putih, ini mah item banget he..he..he..”
“Nanti..nanti gue inget-inget dulu, oya… gue tanya saudara gue saja soalnya dia waktu SD temen sekelas Rizal..bentar ya..gue telepon dulu”.
“Hallo….assalamualaikum”.
“Walaikumsalam”.
“Mas…lagi apa?”
“Lagi di kampus nih…ada apa Ni?”
“Mas…aku mau tanya, inget tidak sama Rizal temen Mas waktu SD dulu?”
“Oh..iya,iya kenal”.
“Mas aku mau tanya nama panjangnya dong”
“Oh…kalau tidak salah sih… Muhamad Rizal Putra Perdana”.
“Bukannya dia temen kamu waktu masih kecil?” tanya Mas yang heran karena Aku mencari tahu tentang Rizal.
“Iya sih, tapi aku lupa nama panjangnya he..he..he”
“Hayyo..memangnya ada apa nih…?” tanya Mas lagi-lagi curiga, dan penasaran ingin tahu apa tujuanku mencari tahu tentang Rizal.
“Tidak..ingin tau aja”.
“Setau Mas sih dia udah pidah rumah deh”
“Pindah..kemana?”
“Hmm…daerah ciputat gitu”
“Memangnya dari kapan mas?”
“Ya..udah lama juga sih, dari lulusan SMP aja..”
“Terus Mas tidak tau kabarnya lagi?”
“Ya…dari semenjak pindah udah tidak kontek-kontekan lagi..”
“Oh,,,gitu ya Mas,makasih ya Mas salam ya sama budeh…”
“Oke….”
“assalamualikum…”
“walaikumsalam….”

Ku tutup telepon itu dengan hati yang sedikit kecewa karena mendengar berita tentang Rizal sudah pindah rumah, padahal aku barharap Rizal masih tinggal disana.

`“Hai…Fit serius amat sih lo. Udah dapet namanya?”
“Udah dong….tapi dia udah pindah ke ciputat Fit”
“Ciputat? Ah…itu mah makin deket ko..”
“Nih,,namanya…Muhamad Rizal Putra Perdana” Nia menunjukkan selembar kertas yang berisikan nama panjang dari sahabatnya itu.
“Wew..bagus bener tuh nama”
“Iya dong..sebagus orangnya juga lho…he…”
“Kita cari ya..Nih, banyak banget jeng…pusing nih…elo inget tidak mukanya?”
“Lupa, kan gue inget waktu dia masih kecil…eh..sebentar coba buka Rizal yang ini” Nia menunjuk salah satu deretan foto di face book.

“Ni….yang ini mah Foto anak kecil, lagi juga cowo ma cewe..” Jawab Fitri heran karena Nia sudah menunjuk satu foto.
“Hmmm.. Tau tidak, ini foto gue sama dia waktu masih kecil” aku tersenyum geli melihat Fitri yang begitu aneh memandangi foto lusuh itu.
“He..he..he.. jadi elo kayak begini waktu kecil”
“Tahu tidak gue punya ko foto yang sama kayak begini, berarti dia masih inget dong sama gue…ih…senengnya..cepet Fit buka FB nya”
“Ya…elo enggak bisa buka profilnya, elo belum di comfrim sama dia.”
“Ya sudah yang penting udah ketemu…makasih ya Fit, elo emang temen gue yang paling”
“Paling apa?”
“Paling bawel…he..he..he”
“Ya udah Ni… gue pulang dulu”
“Emang udah beres tugas elo?”
“Udah ko, thanks ya”
“Iya sama-sama”
“Udah elo jangan tidur aja, bau tau…takutnya pangeran elo malah kabur…ha..ha..ha.”
“Ah..masa sih gue bau”
Aku mengantarkan Fitri hingga ke depan pintu rumah. Perasaanku tidak lagi kalut, karena aku yakin bahwa Rizal lah yang telah memasang foto itu di face book nya.
“Bye..bye”
“Duh…anak mamah kayaknya seneng bener, apa habis ketemu Fitri ?” mamah meledekku, karena mamah melihat wajahku tidak lagi kusut.
“ah…mamah memangnya aku lesbi apa..aku normal kali”.
“Terus kalau kamu normal, kenapa kamu belum punya pacar sampai sekarang”.
“Kata siapa? Pokoknya aku kenalin deh….tenang aja mah…oke”

****

Saat matahari bersembunyi dan berganti malam yang indah, bahkan begitu indah ditaburi beribu-ribu bintang yang bersinar terang dimalam yang gelap ini. Bintang itu telah memberikan keindahan yang menyejukan bola mata tanpa mampu mengedipkan sejuta pasang mata yang melihatnya walau hanya untuk sedetik saja.
Ku buka kembali laptop yang kuletakkan di meja halaman depan, dan berharap Rizal membalas di Facebook ku. hmmm…betapa senangnya ternyata Rizal mengcomfrim dan mengirim pesan di dinding facebook ku, yang berisikan.
“ Apa kabarmu…sudah 12 tahun tidak berjumpa. Sengaja aku memakai foto lusuh itu sebagai tanda di facebook ku, berharap agar teman kecilku melihatnya, apakah benar engkaulah Nia teman kecilku dulu?. Nia masih ingetkah tentang kata-kata ku dulu? Kita sekarang sudah dewasa, bolehkah aku menagih janji masa kecil kita dulu. Nia boleh aku tahu nomer telepon mu?”

Dan aku membelasnya.

“kabar aku baik, dan aku harap kamu juga baik, perpisahan memang begitu menyakitkan bagi kita, ya…tidak terasa 12 tahun kita lalui, aku senang kamu masih menyimpan Foto itu.
Aku selalu ingat dengan kata-kata kamu “pasti kita akan bertemu lagi”, dan mungkin dengan cara inilah Allah mempertemukan kita kembali, kalau Allah memberikan kesempatan bagi kita, aku akan memenuhi janji kita dulu. Oya…nomer telepon aku 021 68359862”

Malam semakin larut, udara dingin mulai merasuk ke semua organ-organ tubuh yang sudah lelah, bintang-bintang mulai bersambunyi dalam kelamnya kabut malam. Dan bola mata yang sudah mulai meredup seakan dunia mimpi telah hadir dihadapanku.
Hmmm…tak sabar hati ini menunggu hari esok, akankah aku mendapatkan kebahagian yang dapat mengobati rasa rindu yang menggebu.

****

Sepertiga malam,suasana kamar yang sunyi, cahaya yang masuk melalui celah-celah tembok temaram, udara dingin merasuki tubuh yang terbaring dan menari didunia mimpi, aku terbangun ketika mendengar suara telepon ku berdering yang mengusik alam khayalku.
“Kring…..siapa sih yang telepon subuh-subuh begini,” tanya Nia yang masih menahan kantuknya.
“Hallo…assalamualikum…”
“Walaikumsalam….siapa ya?”
“Ini, Nia?”
“Iya….memangnya ini siapa?”
“Ini,,Rizal.”
Aku langsung terbangun dengan serentak rasa terkejutku bercampur senang, apakah aku masih bermimpi atau ini memang suatu kenyataan. Ya..Allah apakah benar ini suara seseorang yang selama ini aku rindukan?
“Rizal!, apa kabarmu?” dengan suara yang tidak percaya, aku memastikan apakah ini Rizal teman kecilku itu.
“Alhamdulillah baik,kamu?”
“Alhamdulillah baik juga”. Sekarang aktivitas kamu ngapain saja?” tanyaku pada Rizal.
“Aku masih kuliah, dan kamu?”
“Sama aku juga masih kuliah, kamu kuliah dimana?”
“Di pariwisata, kamu?”
“Aku mengambil ilmu pendidikan”.

Pecakapan semakin hangat dan obrolan pun mulai mencair, terlebih lagi rasa kangen ini telah terobati, ya…walaupun hanya dengan kata-kata, tetapi itu bagiku telah cukup untuk mengobati rasa rindu yang selama ini menumpuk dalam rongga dadaku.
Ternyata dia selama ini Rizal mencari-cariku ke tempat tinggal ku yang dulu. Ya..memang karena pekerjaan ayah ku selalu dipindah tugaskan kemana-mana sehingga sulit untuk mencari dimana tempat tinggal aku yang tetap.
Ia menceritakaan semua tentang dirinya, ada satu hal yang belum aku ketahui,ternyata om Gunawan ayah Rizal telah meninggal dunia, aku tahu betapa sedihnya Rizal saat itu. Satu kata yang terucap dari bibirku…inna lillaahi wainnaa ilaihi roji’uun.
Aku tidak ingin berlama-lama membiarkan Rizal bersedih karena megingat Ayahnya. Sengaja aku lumerkan percakapan ku dengan menanyakan tempat tinggalnya yang sekarang.
“Aku tinggal di Ciputat, kamu tahu Situ Gintung?”
“Oh…ya aku tahu, yang dibawah Situ itu”
“Betul, dan kamu sekarang tinggal dimana?”
“Sekarang aku di rawamangun. Nanti sempatkanlah waktu mampir ke rumahku”.
“Oke…nanti siang boleh tidak? Inikan hari minggu jadi aku ada waktu”
“Bener, ya sudah aku tunggu ya…
“Nanti kamu SMS kan alamat kamu yang lengkap ya”.
“Oke…”
“Yu..assalamualikum..”
“Walaikumsalam”

Suara kokok ayam mulai terdengar, dan sinar surya sudah mulai menunjukkan kecariaannya untuk memberikan kehangatan bagi setiap mahluk hidup didunia. Sedangkan aku masih belum percaya bahwa Rizal menghubungiku, aku takut kalau itu hanyalah mimpi.
“Nia…bangun sudah pagi”.
“Iya..mah..ini juga udah bangun”.
“Mah…masih inget tidak dengan Rizal, temen kecil aku waktu kita masih tinggal di Tangerang?”
“Yang mana ya…Oh..iya mamah ingat dia yang selalu bermain di rumah ya?”
“Iya…Oya mah kenal kan sama papah Rizal?”
“Hmm…kalau enggak salah Pa Gunawan kan?”
“Iya…om Gunawan sudah meninggal”
“inna lillaahi wainnaa ilaihi roji’uun …kamu tahu dari mana?” tanya mamah seakan tidak percaya apa yang telah aku katakana.
“Tadi Rizal telepon aku, dia sekarang mau kerumah ko mah, bolehkan?”
“Ya boleh lah…kapan?”
“Ya..katanya sih nanti siang”
“Ya sudah mandi sana…udah pukul 8”
Tidak sabar rasanya menunggu kedatangan seseorang yang selama ini selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. ku lihat setiap detik jam dindingku berputar. Resah dan gelisah mulai hadir, bahkan jantungku ini tidak dapat berdenyut dengan sampurna.
“Mah..ko persaanku deg-degan ya…ada apa?” sambil ku pegang dada ini yang terasa sulit bernapas, dan tidak karuan.
“Ah kamu…udah bantu mamah dulu bikin sayur..biar enggak deg-degan gitu”. Mamah memberikan pisau, dan menyuruhku untuk membantunya.
”He..he..he.. bisa aja nih mamah”.

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 11 siang…akhirnya aku mendengar bunyi ketokan pintu di depan rumahku. Perasaanku semakin tidak karuan. wajahku pucat, dengan denyut jantung berdetak tak tentu arah, seakan aku mendengar ledakan bom atom yang dapat mennghancurkan seluruh tubuhku ini. “Mah…diluar ada yang ketok pintu”.
“Ya udah kamu buka, kamu kan dari tadi tunggu kedatangannya”.
“Tapi aku jadi lemas..deg-degan"

Ku kumpulkan semua keberanian dalam diriku untuk membuka pintu itu, walaupun aku harus bertarung dengan rasa takut dan malu karena sudah 12 tahun tidak bertemu, perasaan gerogi itu hadir.

“Assalamialaikum”
“Walaikumsalam, hai Rizal ya?” duh hati mulai tidak karuan, ternyata ini toh orang yang selama ini aku tunggu.
“Nia?”
“Silahkan masuk…silahkan duduk” aku menunjukkan ke arah sofa, tempat di mana Rizal harus duduk.
“Makasih”
“Sebentar ya aku panggil mamah dulu” Dengan perasaan bingung harus berbuat apa, aku panggil mamahku yang ada di dapur.
“Mah…ada Rizal,aku harus gimana?” dengan suara yang gemetar dan aku bingung harus berbuat apa.
“Gimana, ya udah kamu buatin minum” mamah bingung melihat aku yang begitu gerogi dan gugup berjumpa Rizal.
“Oh..gitu ya…minum apa?”
“Ya udah bikin sirup aja, kan udara di luar panas”









“Assalamulaikum tante” Sapa Rizal pada mamah
“Walaikumsalam…gimana kabarnya?”
“Baik tante..”
Aku menaruh minuman itu di atas meja, dihadapannya ku lontarkan senyum terhebatku, duh..malu..ternyata dia berbeda sekali, waktu kecil dia belum setinggi ini, ya ampun….oh.. dia dapat menghancurkan semua pandanganku, tak henti ku meliriknya, curi-curi pandang ketika ia sedang bicara dengan mamah.

“Uh..tante lupa, tante lagi masak, ya udah lanjutin aja ngobrolnya”. Mamah berjalan menuju dapur, dan melanjutkan aktivitasnya.
“Iya tente…”
Disini hanya ada aku dan Rizal saja, aku bingung harus berbuat apa sedangkan bibir ini sulit untuk berkata. Untuk menutupi rasa gerogi, ku mainkan bantal sofa sampai terlipat, singguh aku bingung harus berbuat apa. Tetapi tidak lama akhirnya aku mendengar suara Rizal menyapaku.
“Nia, kenapa kamu diam saja?” Sapa Rizal pada Nia, dia memandangi Nia yang sedang termenung. “ Ni, sekarang kamu beda sekali ya, dulu kamu gemuk dan pendek, tetapi sekarang kamu tinggi dan langsing. Kamu tambah cantik saja”.
“Ah..kamu bisa saja, aku jadi tambah malu nih. Kamu juga sekarang tambah tinggi dan ganteng lagi” aku juga tidak mau kalah untuk memujinya.
Pembicaraan kita sudah mulai menyenangkan, tidak ada lagi perasaan malu dan gerogi lagi.
Semenjak perjumpaan di rumah, kita lebih sering berkomunikasi bahkan jalan bersama, sekedar bersenang-senang dan menghabiskan waktu berdua.
Hari ini aku seneng sekali, kita pergi ke tangerang rumah aku dan Rizal dulu tinggal, daerah ini penuh dengan perubahan yang dulu lapangan tenis komplek, sekarang sudah tidak ada dan berganti dengan toko-toko, sedih karena saksi bisu kenangan kita telah tidak ada lagi, disana aku bertemu dengan Maya, Indah, dan Rono teman kecilku, kita melepaskan kerinduan dan mengenang masa-masa yang penuh dengan canda dan tawa. Maya sudah menikah dan memiliki saorang anak, Indah baru lulus kuliah sedangkan Rono sudah mulai bekerja di BUMN. Duh..senangnya dapat bertemu teman masa kecil.
Tidak terasa hari sudah semakin larut, dan mataharipun sudah malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Aku dan Rizal memutuskan untuk pulang karena hari sudah semakin gelap. Dan mengakhiri perjumpaanku dengan teman-teman masa kecil dulu.
Malam ini sedikit berbeda, aku tidak rela kalau Rizal pulang kerumahnya. seakan-akan aku takut kehilangan dirinya untuk yang kedua kalinya, tetapi waktu sudah tidak bersahabat lagi, dan angin malam pun sudah bertambah dingin. Aku melihat Rizal yang terdiam dalam lamunannya.
“Zal, kenapa kamu lihat aku seperti itu? Takut tau”. Rizal memandangku dengan sorot mata yang tajam, sehingga aku takut di buatnya.
“Ni..aku sayang sama kamu”. Rizal memegang tanganku dengan erat.
“Aku juga sayang sama kamu, ya sudah sepertinya kamu sudah lelah deh, lagi juga ini udah pukul 10 malam” aku berusaha untuk melepaskan genggaman tangan Rizal.
“Iya..aku pulang ya”.
“Makasih ya…hati-hati” Perasaanku tidak enak, aku takut terjadi sesuatu dengan Rizal, dan berkali-kali aku berkata, “hati-hati”

****
Ku baringkan tubuhku di atas kasur, tetapi mengapa pandanganku tidak dapat menghapuskan bayangan Rizal di mataku ini. Aku masih cemas takut terjadi sesuatu dengan Rizal. Ya Allah lindungilah Rizal, aku tertidur dengan lelap sampai tidak terasa bahwa Rizal menghubungiku berkali-kali.
Pagi hari pukul 8 pagi aku terbangun dan melihat Hp ku ternyata ada tiga panggilan tidak terjawab dari Rizal. Aku melihat mamah dan papah sibuk melihat berita di televisi.
“Pagi mah, pah” sapa ku pada mamah dan papah.
“Pagi” jawab mamah dan papah yang sedang serius melihat berita di televisi.
“Liat berita apa sih mah? Serius benget” sambil ku minum air putih dan duduk bersama mama,papah.
“Ini situ gintung jebol” jawab mamah
“Apa! Ya Allah….mah itukan rumah Rizal” mendengar berita itu aku seperti tersambar petir yang meluluh lantahkan tubuhku ini.
“Memangnya rumah Rizal disitu?” tanya mamah sambil memandangku.
Aku tidak menghiraukan pertanyaan mamah, aku berlari ke kamar mengambil Hp dan ku telepon Rizal berkli-kali tapi tidak aktif. Perasaan ini semakin kacau dan bingung apa yang harus aku lakukan.

“Tenang sayang, mamah dan papah ada disisni jengan panik, ya mudah-mudahan Rizal dan keluarganya selamat tenang sayang” mamah berusaha menenangkanku.
Tidak terucap sedikit pun kata-kata keluar dari bibirku, pikiranku kacau, sedangankan kabar yang aku dengar dari televisi, tragedi itu menelan banyak korban, dan hampir semua yang tinggal disana meninggal. karena bencana itu terjadi disaat orang sedang lelap tertidur.
“Mah..pah…aku harus pergi kesana, ijinkan aku..aku mohon”.
“Ya sudah bersama mamah dan papah ya”
Ya..Allah…tolong berikan berita yang baik untuk diriku, doa yang terucap hanya ku mohon agar Rizal dan keluarganya baik-baik saja.

****

“Astagfirullah”, aku melihat betapa luluh lantahnya daerah ini dan banyaknya korban-korban yang belum diangkat, tidak ada yang boleh masuk ke tempat itu terkecuali Tim SAR dan para relawan.
Sampai pukul 10:00 WIB belum juga aku mendapatkan kabar dari para relawan, aku terus telepon Rizal, dan berharap ia selamat dalam bencana itu. Tetapi ternyata lagi-lagi hasilnya nihil, dari pagi hingga sore pukul 13:00 WIB aku mencari dan melihat satu persatu mayat dari rumah sakit satu kerumah sakit yang lain, bahkan aku dan ayahku berpencar mencari tau kabar terbaru. sampai pukul 15:00 aku melihat saudara Rizal, bernama ka Umi.
“Ka umi”.(langsung memeluku dan menangis) “Ka bagaimana Rizal dan keluarganya?”, ia hanya terdiam dan aku dilihatkan tiga deretan mayat dan dibukakan satu persatu mayat itu oleh ka Umi.
Ya Allah…tangisku menggelegar, seakan-akan aku tidak percaya bahwa Rizal, Ibu dan adiknya sudah terbujur kaku tepat dihadapanku. Ku peluk mamah dan papah ku, dengan erat namun…terpuruklah tubuhku, hingga tidak sadarkan diri lagi. setelah sadar aku langsung menangis yang ada dipikiranku hanya Rizal.
“Mah…Rizal mah”
“Iya sayang, sabar ya…kamu harus ikhlas akan kenyataan ini, mamah mohon jangan siksa diri mamah dengan melihat kamu seperti ini…kita pulang dulu ya”. Jemari mamah mengelus halus rambutku.
“Tidak mah,aku ingin melihat pemakamannya”
“Ya sudah..kita sekarang ke rumah saudara Rizal di tangerang”.
Sepanjang perjalanan, pikiranku tetap tidak percaya, kalau Rizal telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Apakah aku sudah terlambat untuk menemukan cintanya dan apakah sudah terlambat untuk mengerti dirimu. Sungguh aku tidak menyadari bahwa dirimu sangat berarti bagiku.
Aku membacakan surat Yasin di depan mayat Rizal dan keluarganya, sampai saat pemakaman itu dimulai, aku berusaha kuat melangkahkan kakiku menuju tempat persemayangan terakhir Rizal.
Aku berbisik di kubur tanah yang masih merah dan basah itu, “aku tahu Zal kamu masih ada di dekatku. Zal aku paham bahwa semua ini takdir yang tidak dapat lagi kita hindari oleh semua mahluk hidup, kamu tahu betapa hancurnya hati ku melihat kamu terbujur kaku, apa kamu tahu, tahukah kamu. Betapa hancur hati ini Zal.
Zal aku ikhlas kamu pergi, pergilah Zal dengan tenang. Ada satu hal yang kamu harus tahu, Zal, selama ini aku sayang sama kamu dari semenjak kita kecil. Dipangkuan hatiku ini hanya ada dirimu, Selama hidup sepanjang usiaku, tidak pernah sekali pun aku merasakan cinta seperti ini Apakah cinta yang dapat membahagiakanmu, dari segala sesuatu yang ingin ku miliki. Apakah cinta sesuatu yang harus dimiliki?
Selamat tinggal teman kecilku dan cinta pertamaku untuk selamanya, sebait doa untuk melepas kepergianmu. Ya Allah Yaa Rachman Yaa Rachim, Ampunilah Dosa-dosanya, Limpahkanlah Rachmat Kepadanya, Muliakanlah Tempatnya, Lapangkanlah Pintu Baginya, dan Hapuskanlah Segala Kesalahannya AAMIN YAA RABBAL’AALAMIIN.


1 comment:

  1. Ceritanya hampir sama kek gue cuma beda tokoh :v jadi keinget firda .duli sering maen sama dia di poncol .ya allah kapan bisa ketemu dia lagi . Udh 15 tahunan gak ketemu berasa kangen banget

    ReplyDelete